SEJAK lokomotif desentralisasi di Indonesia tahun 1999 diluncurkan,  pemerintah pusat telah berupaya maksimal untuk memperluas dan  memperbaiki partisipasi warga negara dalam pembangunan. Lahirnya  kebijakan dan program mercusuar pemerintah, yaitu paradigma perencanaan  dari bawah (bottom up planning), yang dimulai dari musyawarah  perencanaan pembangunan desa (Musrenbang-Desa) hingga nasional.
Paradigma ini lahir sebagai anti-tesis terhadap filosofi pembangunan  yang bertumpu pada paradigma klasik trickle down effect atau lebih  dikenal konsep top down. Secara empirik, pengaplikasian konsep top down  di Indonesia pada era pembangunisasi rezim Soeharto berhasil mengekalkan  kemiskinan dan mengabadikan ketimpangan sosial.
Musrenbang-Desa adalah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan  secara partisipatif oleh para pemangku kepentingan desa untuk  menyepakati rencana kegiatan tahunan desa untuk tahun anggaran  berikutnya. Musrenbang-Desa bertujuan untuk menyepakati prioritas  kebutuhan dan kegiatan desa beserta pemilahannya. Pemilahan tersebut  mencakup prioritas kegiatan desa yang dibiayai melalui dana swadaya  desa/masyarakat dan Alokasi Dana Desa (ADD), dibiayai melalui APBD  kabupaten/kota atau APBD propinsi, dan sumber-sumber lain.
Konsep Musrenbang sebagai ‘forum musyawarah’ dapat dimaknai sebagai  ruang dan kesempatan interaksi warga negara untuk merembukkan sesuatu  secara partisipatif dan inklusi sosial. Dan, berakhir pada pengambilan  kesepakatan atau pengambilan keputusan bersama. Model konsultasi publik  secara meluas pada level akar rumput semacam ini, secara teoretis dan  empirik, merupakan cara yang efektif untuk mendorong rasa kepemilikan  lokal dan memiliki dimensi demokrasi deliberasi (permusyawaratan), di  mana masyarakat bermusyawarah dan belajar bersama secara lokal. Berbeda  dari demokrasi perwakilan yang menempatkan prinsip voting sebagai pusat  dalam pengambilan keputusan publik, para pencetus teori demokrasi  deliberasi seperti Joseph M Bessette, Jon Elster, Jurgen Habermas,  Joshua Cohen, John Rawls berpandangan bahwa legitimasi dalam pembuatan  kebijakan hanya berasal dari dan melalui musyawarah publik oleh rakyat.  Inti dari Musrenbang adalah partisipasi masyarakat secara penuh dan  meluas.
Partisipasi masyarakat
Partisipasi mengandung dimensi hadir, bersuara, memiliki akses dan kontrol dalam proses pembuatan keputusan dan pada gilirannya mendapat manfaat dari pelaksanaan keputusan tersebut. Setidaknya, ada lima alasan mendasar mengapa partisipasi masyarakat dalam Musrenbang begitu penting. Pertama, partisipasi merupakan hak dasar yang melekat pada setiap warga negara. Hal ini sesuai dengan Pasal 25 butir (a) UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Partisipasi mengandung dimensi hadir, bersuara, memiliki akses dan kontrol dalam proses pembuatan keputusan dan pada gilirannya mendapat manfaat dari pelaksanaan keputusan tersebut. Setidaknya, ada lima alasan mendasar mengapa partisipasi masyarakat dalam Musrenbang begitu penting. Pertama, partisipasi merupakan hak dasar yang melekat pada setiap warga negara. Hal ini sesuai dengan Pasal 25 butir (a) UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Kedua, partisipasi masyarakat secara langsung dalam pembuatan  kebijakan dan keputusan publik dapat menutup kegagalan demokrasi  perwakilan melalui mekanisme pemilu. Manakala anggota DPRD gagal  memperjuangkan kepentingan konstituennya, maka dapat diperjuangkan lewat  mekanisme Musrenbang. Dengan cara itu, masyarakat dapat merencanakan  sumberdaya publik (termasuk anggaran), bagaimana uang rakyat dikelola  dan kemana uang rakyat dibelanjakan. APBD adalah uang rakyat yang  diperoleh melalui pembayaran pajak dan retribusi.
Ketiga, masyarakat semakin memahami proses-proses yang terjadi di  lembaga pemerintahan desa, dan meningkatkan rasa memiliki dari keputusan  yang diambil sehingga kepercayaan kepada pemerintah desa meningkat.  Pada gilirannya, pemerintah Desa memiliki legitimasi yang kuat dari  rakyatnya karena lebih akuntabel, transparan dan responsif.
Keempat, masyarakat semakin terampil berpolitik, karena mereka sudah  terbiasa bernegosiasi, berkompromi dan menyepakati berbagai hal terkait  kepentingan publik.
Kelima, meminimalisir peluang korupsi, kolusi dan nepotisme.  Partisipasi masyarakat dalam Musrenbang akan menjadikan prosesnya  menjadi lebih transparan dan akuntabel, sehingga kesepakatan ‘gelap’  yang memungkinkan terjadinya bagi-bagi proyek dapat dicegah sedini  mungkin.
Praktik Musrenbang
Selama ini publik menilai bahwa Musrenbang hanya sekadar acara seremonial atau ritual tahunan dan defisit roh pemberdayaan. Sebagian besar dari waktunya diisi dengan sambutan-sambutan dari pejabat. Kepala desa dan pihak kecamatan mendominasi proses dan menentukan usulan-usulan kegiatan. Musrenbang didominasi aparat, elite desa dan laki-laki. Partisipasi kelompok perempuan dan kaum muda masih terbatas. Proses pengawalan hasil Musrenbang hingga kabupaten belum optimal berjalan. Kondisi ini menjadikan masyarakat tidak bisa memantau usulan mana yang dijawab atau mana yang sudah tereliminasi.
Selama ini publik menilai bahwa Musrenbang hanya sekadar acara seremonial atau ritual tahunan dan defisit roh pemberdayaan. Sebagian besar dari waktunya diisi dengan sambutan-sambutan dari pejabat. Kepala desa dan pihak kecamatan mendominasi proses dan menentukan usulan-usulan kegiatan. Musrenbang didominasi aparat, elite desa dan laki-laki. Partisipasi kelompok perempuan dan kaum muda masih terbatas. Proses pengawalan hasil Musrenbang hingga kabupaten belum optimal berjalan. Kondisi ini menjadikan masyarakat tidak bisa memantau usulan mana yang dijawab atau mana yang sudah tereliminasi.
Usulan Musrenbang banyak sekali, lebih banyak daftar keinginan  daripada kebutuhan. Hal ini terjadi karena penyusunan skala prioritas  dan pemilahan tidak dilakukan. Mayoritas usulan untuk pembangunan fisik,  sedikit untuk pengembangan kapasitas SDM. Akibatnya, usulan Musrenbang  hanya bertumpuk di beberapa dinas saja, terutama di Dinas PU.
Di balik potret buram Musrenbang, ada juga praktik baik oleh  masyarakat, pemerintah daerah dan LSM dalam meningkatkan kualitas  Musrenbang. Misalnya, di Sumba Barat dan Sumba Timur, pemerintah daerah  (BPM, Bappeda, dan kecamatan) bersama LSM dan ACCESS (sebuah program  bilateral antara Pemerintah Australia dan Indonesia), bekerjasama  memfasilitasi proses Musrenbang. Dalam memfasilitasi proses, fasilitator  menerapkan metode fasilitasi vibran. Dibentuk ‘warung’ diskusi (warung  pendidikan, warung ekonomi, warung kesehatan, warung sosial-budaya, dan  lain-lain). Sebelum Musrenbang digelar, fasilitator LSM sudah  memfasilitasi masyarakat menyusun rencana yang dibawa pada Musrenbang.
Hasil Musrenbangnya, dari sisi proses dan substansi, cukup  berkualitas. Partisipasi masyarakat cukup tinggi. Warga masyarakat  antusias dalam mengikuti kegiatan. Usulan-usulan yang muncul tidak hanya  pembangunan fisik, tetapi juga non-fisik seperti pengembangan kapasitas  SDM.
Sementara, bagi desa-desa yang sudah memiliki dokumen RPJM-Desa (2 di  Sumba Barat dan 13 di Sumba Timur), tinggal membuka dokumen yang ada,  dan dijadikan sebagai acuan untuk menyusun usulan-usulan. Jadi, tampak  jelas bahwa Musrenbangnya berjalan begitu dinamis dan mencerminkan forum  milik warga. Suara Musrenbang suara rakyat, tidak hanya ilusi tapi  nyata.
Agenda Desentralisasi
Di atas kertas Musrenbang-Desa mengandung prinsip desentralisasi. Prinsip desentralisasi terkait dengan kewenangan desa untuk menyelenggarakan Musrenbang. Melalui PP 72/2005 Tentang Desa, sebagai bentuk implementasi dari UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah, memberikan legitimasi kekuasaan dan ruang yang lebih luas kepada kepala desa dan seluruh perangkat desa lainnya untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur masyarakatnya secara mandiri. Semangat desentralisasi ini juga, mendorong semakin transparannya pengelolaan pemerintahan desa, semakin pendeknya rantai birokrasi, pada akhirnya berpengaruh positif terhadap jalannya pembangunan desa.
Di atas kertas Musrenbang-Desa mengandung prinsip desentralisasi. Prinsip desentralisasi terkait dengan kewenangan desa untuk menyelenggarakan Musrenbang. Melalui PP 72/2005 Tentang Desa, sebagai bentuk implementasi dari UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah, memberikan legitimasi kekuasaan dan ruang yang lebih luas kepada kepala desa dan seluruh perangkat desa lainnya untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur masyarakatnya secara mandiri. Semangat desentralisasi ini juga, mendorong semakin transparannya pengelolaan pemerintahan desa, semakin pendeknya rantai birokrasi, pada akhirnya berpengaruh positif terhadap jalannya pembangunan desa.
Di sisi lain, mekanisme perencanaan dari bawah tidak lebih sebagai  mata rantai birokrasi yang membuat desa tergantung secara sistemik pada  kabupaten/kota. Secara empirik maupun formal, desa bukanlah wilayah  pembangunan otonom, yang menerima desentralisasi politik, pembangunan  dan keuangan. Pemerintah pusat masih ‘berat hati’ untuk membangun pola  local self planning di desa. PP 72/2005 Pasal 63, menempatkan  perencanaan desa sebagai satu kesatuan dengan sistem perencanaan  pembangunan daerah kabupaten/kota. Hal ini menimbulkan kegamangan,  karena ketidakjelasan, mana ruang lingkup kewenangan desa dan mana yang  menjadi kewenangan kabupaten. Akibatnya, masyarakat menjadi apatis untuk  mengikuti Murenbang-Desa.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, termasuk Musrenbang,  hanya akan terwujud apabila otonomi daerah tidak hanya berhenti di  kabupaten/kota, tapi terus mengalir menjadi otonomi desa dan akhirnya  menjadi otonomi rakyat. 
(c) nandang sudrajat, 2011 
 






 
 
 
 
 

0 komentar:
Posting Komentar