PENDAHULUAN
Pembangunan sektor pertanian dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi, senantiasa didorong untuk mewujudkan perekonomian nasional yang sehat, hal ini tercermin dari visi yang telah ditetapkan oleh Departemen Pertanian, sedangkan dalam misi pembangunan peternakan antara lain adalah memfasilitasi penyediakan pangan asal ternak yang cukup baik secara kuantitas maupun kualitasnya, memberdayakan SDM agar menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan, membantu menciptakan lapangan kerja, dan melestarikan serta memanfaatkan sumberdaya alam pendukung peternakan (Departemen Pertanian, 2001). Salah satu komoditas perternakan yang memenuhi kriteria seperti pada visi daan misi di atas antara lain komoditas domba dan kambing.
Keragaman wilayahdi muka bumi menyebabkan begitu banyak bangsa ternak yang tersebar di seluruh dunia. Sampai saat ini tercatat 244 bangsa domba yang telah diidentifikasi dengan cukup baik dan dari 300 bangsa kambing yang tercatat, 81 bangsa kambing telah teridentifikasi dengan baik sehingga dari performa fisik dapat dibedakan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya (Heriyadi, dkk., 2002). Beberapa bangsa domba dan kambing tersebut terdapat telah berkembangbiak dengan baik pada berbagai kondisi dan wilayah di Indonesia.
Secara umum komoditas domba dan kambing terdistribusi di berbagai pulau atau provinsi di seluruh wilayah Indonesia atau minimum menyebar di 11 provinsi di seluruh Indonesia. Luasnya penyebaran populasi komoditas domba dan kambing tersebut membuktikan bahwa berbagai wilayah di tanah air memiliki tingkat kecocokan yang baik untuk pengembangan, baik kecocokan dari segi vegetasi, topografi, klimat, atau bahkan dari sisi sosial-budaya daerah setempat.
Lokasi penyebaran kambing sangat cocok bila dikembangkan di Provinsi Jawa Tengah, pada provinsi tersebut populasi kambingnya adalah yang paling tinggi dibandingkan provinsi-provinsi lain di Indonesia (3.033.952 ekor), dan domba sangat cocok bila dikembangkan di Provinsi Jawa Barat, karena populasi domba di Provinsi Jawa Barat adalah yang paling tinggi di Indonesia yaitu sebanyak 4.221.806 ekor atau mencapai 55,9 % populasi domba nasional (Statistik Peternakan, 2006).
Berdasarkan data yang diolah dari Departemen Pertanian (2003), terungkap bahwa daerah yang populasinya paling padat dan cocok untuk mengembangkan kambing dan domba sebagai sumber bibit dan bakalan untuk komoditas :
(1) Kambing secara berturut-turut adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darusallam, dan Sulawesi Selatan.
(2) Domba secara berturut-turut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Nanggroe Aceh Darusallam.
Upaya pengembangan komoditas ternak apapun, termasuk pengembangan dan peningkatan produktivitas domba dan kambing, tidak terlepas dari visi pembangunan sektor pertanian dan misi pembangunan peternakan yang telah ditetapkan sebagai arah dalam upaya pengembangan setiap komoditas ternak.
KONDISI KEKINIAN DOMBA DAN KAMBING, POTENSI DAN MASALAHNYA
1. Kondisi Kekinian Domba dan Kambing
Perkembangan peternakan domba dan kambing (doka) sampai saat ini relatif jalan di tempat, perkembangan produksi dan produktivitasnya hampir tidak mengalami kemajuan berarti, hal ini diduga akibat pola pemeliharaannya yang masih bersifat tradisional dengan skala pemilikan yang kecil (small holders), sehingga doka kebanyakan dipelihara apa adanya tanpa suatu perencanaan yang jelas untuk lebih berkembang, lebih produktif, dan lebih menguntungkan, di samping itu jumlah pemotongan doka termasuk domba dan kambing betina produktif untuk kebutuhan lokal pun cukup tinggi, sehingga bila produktivitasnya tidak ditingkatkan dan dikembangkan secara komersial dan dalam skala yang besar, dihawatirkan akan terjadi pengurasan populasi domba dan kambing nasional, karena perkembangan populasi doka tidak sejalan dengan meningkatnya permintaan akan doka dan perkembangan populasi penduduk.
Populasi domba dan kambing di Indonesia saat ini mencapai 19 347 475 ekor, terdiri atas domba sebanyak 7.549 .316 ekor dan kambing 11.798.159 ekor, sedangkan populasi domba di Jawa Barat mencapai 4.221.806 ekor ( 55,92 % populasi nasional) dan kambing berjumlah 1.148.547 ekor dan pemotongan domba yang tercatat di Jawa Barat pada Tahun 2006 mencapai 3.343.365 ekor, sedangkan kambing sebanyak 444.969 ekor (Statistik Peternakan, 2006). Artinya permintaan daging domba di Jawa Barat sangat tinggi dan nyaris menguras populasi yang ada pada tahun berjalan, bila hal ini tidak segera diantisipasi bukan tidak mungkin lambat laun domba akan punah dari bumi Jawa Barat, walau pun domba-domba lokal di Jawa Barat termasuk Domba Garut dikenal sebagai domba yang paling prolifik di muka bumi.
Kondisi ini dihawatirkan diperparah oleh sulit tercapainya PSDS 2010 (Program Swasembada Daging Sapi 2010). Saat ini, diperkirakan kemampuan produksi daging sapi di dalam negeri baru mampu memberikan kontribusi sekitar (70-75) % terhadap kebutuhan nasional, padahal PSDS 2010 yang telah dicanangkan oleh Pemerintah menuntut peran produksi daging sapi dalam negeri untuk memberikan kontribusi sebesar (90-95) %. Bila sampai Tahun 2010 terjadi kekurangan pasokan daging sapi dipasaran, sedikit banyak akan berimbas pula pada peningkatan konsumsi daging doka, walau pun untuk daging doka terdapat pangsa pasar yang spesifik. Saat ini pangsa pasar daging doka di Indonesia tergolong sangat rendah atau hanya sebesar 5 %, daging unggas 56 % , daging sapi 23 %, daging babi 13 %, daging lainnya 3 % (Ditjen Peternakan, 2006).
2. Potensi yang Mungkin Dikembangkan dan Peluang Pasar
Potensi untuk mengembangkan domba dan kambing di Indonesia sangat terbuka lebar, karena kurang lebih 30 persen kebutuhan pangan dan pertanian dipenuhi oleh ternak, sehingga keberadaan ternak menjadi sangat strategis dalam hidup dan kehidupan manusia. Pengembangan potensi tersebut sebenarnya sangat terbuka lebar, hal ini didukung oleh (1) Sumber Daya Manusia, seperti Ilmuwan dari perguruan tinggi, lembaga penelitian, balai-balai penelitian, (2) Kelembagaan yang terkait dengan domba dan kambing, seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), Balai Embrio Transfer (BET), Balai Inseminasi Buatan (BIB), dan Satker Dinas Peternakan, Peternak dan Kelompok Peternak domba dan kambing, Organisasi Profesi (HPDKI, PG30), pasar doka baik di dalam maupun luar negeri, (3) Potensi Sumber Daya Genetik Ternak (SDGT), seperti ketersediaan plasma nutfah potensial sebagai bibit (Domba Garut, Domba Ekor Gemuk, Domba Ekor Tipis, Kambing Peranakan Ettawa, dll), Kemajuan ilmu pemuliaan (seleksi, culling, replacement, persilangan, dan rekayasa genetika), Kemajuan industri obat-obatan ternak, dukungan peternakan rakyat dan kelompok peternak dalam produksi bibit sebar dan bibit induk, daya dukung perkebunan-perkebunan, lahan-lahan kritis, areal kehutanan, lahan-lahan pangonan, yang dapat dijadikan basis ekologi peternakan domba dan kambing.
Potensi tersebut di atas perlu diperhatikan secara terintegrasi sehingga dapat diperoleh manfaat produksi dan manfaat ekonomi secara maksimum. Peluang pasar untuk doka di dalam negeri sangat terbuka lebar, hal ini tersirat dari besarnya permintaan dan data pemotongan doka di Jawa Barat, baik pemotongan yang tercatat maupun yang tidak tercatat untuk kebutuhan konsumsi, kebutuhan Iedul Qurban, maupun untuk Aqiqah.
Potensi pasar ini akan terus berkembang sejalan dengan pesatnya pertambahan penduduk (saat ini penduduk di Indonesia telah mencapai 225 juta orang dan diproyeksikan akan mencapai 234 juta orang pada Tahun 2010, di samping itu peningkatan pendapatan, peningkatan kesadaran akan pentingnya gizi asal protein hewani, kesadaran masyarakat akan pentingnya lamb untuk meningkatkan kecerdasan balita, termasuk campur tangan pemerintah untuk membuka dan memperluas peluang pasar di dalam negeri, akan semakin membuka pasar domba dan kambing di dalam negeri.
Konsumsi daging domba dan kambing di Indonesia sampai saat ini hanya mencapai 0,24 g (Data Diolah, 2008), sedangkan data konsumsi daging doka di beberapa negara maju adalah sebagai berikut Jerman 3,33 g, Rusia 3,36 g, Cina 6,39, Perancis 13,89, Inggris 16,94, Yunani 38,61, Australia 52,50 g, dan yang tertinggi adalah New Zealand yaitu 81,11 g (Anonimous, 2000).
Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa kemajuan suatu negara memiliki korelasi yang positif dengan konsumsi daging doka, artinya semakin maju suatu negara semakin besar pula kebutuhan daging dokanya.
3. Kebutuhan Domba dan Kambing untuk Kurban
Makna kurban untuk umat Islam adalah prosesi penyembelihan ternak untuk mendekatkan diri pada Allah SWT dengan syarat-syarat dan tatacara yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulullah. Jadi pelaksanaan qurban semata-mata hanya untuk meningkatkan ketakwaan dan mendekatkan diri pada Allah SWT, hal ini sesuai dengan dengan firmanNya dalam QS Al-Hajj:37 yang menyatakan bahwa daging-daging dan darah (hewan kurban) itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridloan) Allah, tetapi ketaqwaan kamulah yang mencapainya. Selanjutnya dalam suatu hadits dinyatakan bahwa Tidak ada satu pun perbuatan manusia yang paling disukai Allah SWT pada Hari Raya Iedul Adha selain berkurban. Sesungguhnya darah yang mengalir itu akan lebih cepat sampai kepada Allah SWT sejak darah itu jatuh di permukaan bumi (HR At-Tirmizi dan Ibnu Majjah).
Atas dasar firman dan hadits yang telah disebutkan di atas dapat diprediksi bahwa dengan semakin bertambah umat Islam di Indonesia dan sejalan pula dengan meningkatnya ketaqwaan serta meningkatnya perekonomian umat, maka kebutuhan hewan kurban akan meningkat secara linear atau dapat dikatakan bahwa bahwa peningkatan populasi penduduk yang beragama Islam akan meningkatkan kebutuhan hewan kurban dalam situasi ekonomi yang kondusif.
Sebagai gambaran berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Peternakan dan Perikanan DKI Jakarta, jumlah pemotongan doka di Jakarta saat Hari Raya Iedul Adha 2006 adalah sebanyak 1.721 ekor (domba) dan 40.043 ekor (kambing), di samping itu dipotong pula 5.048 ekor sapi dan 151 ekor kerbau, sedangkan prediksi untuk tahun 2007 adalah 2.000 ekor domba dan 60.000 ekor kambing, 6.000 ekor sapi, dan 200 ekor kerbau (data realisasi pemotongan untuk Tahun 2007 belum diperoleh).
Data tersebut merupakan gambaran kebutuhan hewan kurban yang senantiasa meningkat dari tahun ke tahun, khususnya gambaran untuk daerah pantura, Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur, sedangkan untuk daerah Jawa Barat ternak yang dijadikan hewan kurban lebih banyak domba dibandingkan kambing. Hal ini terkait dengan kebiasaan dan preferensi umat di daerah masing-masing, namun secara umum jumlah tersebut dapat merepresentasikan jumlah ruminansia kecil (doka) yang dipilih sebagai hewan kurban.
4. Ancaman-ancaman bila Domba dan Kambing Tidak Digarap Serius
Indonesia memiliki keragaman plasma nutfah domba dan kambing yang potensial dan cukup banyak untuk dikembangkan dan dimanfaatkan agar diperoleh manfaat ekonomi bagi masyarakat, di antara plasma nutfah tersebut yang memiliki potensi ekonomi antara lain Domba Garut, Domba Ekor Gemuk, Domba-domba komposit, Kambing Peranakan Ettawa, dan doka lokal dari berbagai daerah di wilayah Indonesia.
Keberadaan plasma nutfah potensial tersebut sampai saat ini masih kurang digarap secara serius, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan peternak yang memeliharanya, kesinambungan dan keberlanjutan usaha doka, serta untuk melindungi dan menyelamatkan plasma nutfah asli Indonesia, sementara itu permintaan akan doka terus meningkat, pemotongan doka sering kurang terkendali yang terbukti dengan tingginya angka pemotongan doka betina produktif, sehingga peluang-peluang tersebut justru dapat menjadi bumerang, karena dapat pula berpotensi menjadi sumber pengurasan doka dan plasma nutfah Indonesia.
Hal ini berkaitan dengan terancamnya kepunahan 30 % bangsa ternak di muka bumi seperti yang dilansir oleh FAO, diduga 1 spesies atau bangsa ternak punah setiap 5 hari, dan kepunahan tersebut setengahnya atau 50 % terjadi dinegara-negara berkembang. Atas dasar itu pula pada Tanggal 7 September FAO mengeluarkan deklarasi di Switzerland yang dikenal dengan Deklarasi Interlaken, yang bertujuan untuk penyelamatan dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya genetik ternak yang ada di dunia dan dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan pendukung pertanian, agar keamanan pangan dunia dapat terjamin, mengakui State of the world’s animal genetic resources, kajian mendalam tentang sumber daya genetik ternak dan menyiapkan Global Plan of Action for Animal Genetic Resources.
SOLUSI DAN MODEL USAHA YANG TEPAT
1. Model-model Pengembangan Domba dan Kambing
Rancangan pembangunan dan pengembangan pembibitan doka di Indonesia, sangat bergantung atas pengembangan industri benih (mani dan mudigah) dan bibit doka (bakalan doka pada umur tertentu) yang bersumber dari dalam negeri.
Hal ini berusaha dicapai melalui visi perbibitan peternakan, yaitu tersedianya berbagai jenis bibit dalam jumlah dan mutu yang memadai serta mudah diperoleh, pelaksanaannya dikejawantahkan dalam dan misi sebagai berikut : (1) menyediakan bibit yang berkualitas dalam jumlah yang cukup, (2) mengurangi ketergantungan impor bibit ternak, (3) melestarikan dan memanfaatkan bangsa ternak setempat, serta (4) mendorong pembibitan-pembibitan pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Usaha dalam meningkatkan mutu genetik ternak perlu dilakukan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan, kualitas mutu genetik ternak akan sangat terkait dengan produktivitas dalam usaha di bidang peternakan, upaya yang dapat ditempuh adalah dengan meningkatkan nilai rata-rata sifat produktif (sifat yang dikehendaki) yang dimiliki oleh sekelompok ternak.
Strategi pengembangan kelembagaan perbibitan yang telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian (2003), adalah berupaya untuk membentuk dan memberdayakan berbagai kelembagaan penunjang produksi bibit ruminansia, antara lain adalah : (1) Secara konsisten memperbaiki kinerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) perbibitan ternak ke arah komersialisasi dan privatisasi, sehingga UPT perbibitan ruminansia dapat menghasilkan bibit ternak yang berkualitas, (2) Mengembangkan kelembagaan penangkar bibit ternak rakyat yang dilaksanakan oleh masyarakat peternak sendiri, dengan pola dasar semacam VBC (Village Breeding Center).
2. Model dan Skala Usaha yang Ekonomis
Usaha peternakan doka terkait dengan pasar kurban dan aqiqah pada dasarnya dibagi dalam dua jenis usaha, pertama adalah usaha penyediaan bibit atau bakalan dan usaha penggemukan domba. Secara umum semua usaha pembibitan baik pembibitan domba maupun kambing, keduanya sama-sama tidak menguntungkan karena usaha pembibitan tersebut memerlukan biaya yang besar, resiko yang tinggi, dan tidak quick yielding. Oleh karena itu usaha pembibitan ternak sebaiknya dikelola oleh pemerintah atau swasta yang kuat dari segi permodalan dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.
Peternak doka small holders yang melakukan pembibitan dalam skala rumah tangga sering tidak merasakan rugi, karena pemeliharaan yang dilakukan masih bersifat tradisional yang sering tidak memperhitungkan faktor-faktor produksi, sehingga kerugian yang terjadi tidak dirasakan secara langsung oleh Peternak, namun bila diperhitungkan secara ekonomis usaha pembibitan tersebut akan terlihat merugi.
Penggemukan doka sebenarnya dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan usaha, dan bila dikelola dengan cermat dapat menghasilkan keuntungan yang lumayan. Tentu saja dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti pemilihan bakalan, pemberian pakan, manajemen pemeliharaan, pertimbangan kesehatan ternak, dan penguasaan pasar yang baik, termasuk pertimbangan waktu yang tepat dalam menjual doka. Saat menghadapi Hari Raya Iedul Qurban adalah salah satu waktu yang baik untuk mengusahakan penggemukan doka, karena pasar dan harga akan sangat kondusif untuk iklim usaha. Skala usaha yang menguntungkan untuk penggemukan doka pada dasarnya semakin banyak doka yang dipelihara akan semakin ekonomis usaha tersebut.
Berikut ini adalah perhitungan sederhana untuk skala pemeliharaan 30 ekor domba lokal, dengan asumsi-asumsi pemeliharaan sebagai berikut: mortalitas 5 %; luas kandang 22,5 m2 untuk masa pakai 10 tahun biaya pembuatan per m2 adalah Rp 250.000,00; lama penggemukan 4 bulan; BB awal bakalan 23 kg dengan harga Rp 23.000,00/kg; ADG 80 g; konsentrat 200 g/ekor/hari dengan harga konsentrat Rp 1.200,00/kg; tenaga kerja 1 orang dengan gaji Rp 750.000,00/bulan; harga jual domba Rp 30.000,00/kg hidup; faeces yang dihasilkan 22,5 kg/hari dengan harga jual Rp 200,00.
Atas dasar sumsi-asumsi tersebut di atas, akan dikeluarkan (1) Biaya Tetap (investasi) untuk penyusutan kandang, peralatan, sewa kendaraan, dan biaya tidak terduga sebesar Rp 837.500,00. (2) Biaya Variabel untuk pembelian domba bakalan, konsentrat, tenaga kerja, listrik, air, komunikasi, dan overhead cost sebesar Rp 20.734.000,00. (3) Pendapatan dari penjualan domba dan faeces sebesar Rp 28.413.000,00.
Atas dasar sumsi-asumsi tersebut di atas, akan dikeluarkan (1) Biaya Tetap (investasi) untuk penyusutan kandang, peralatan, sewa kendaraan, dan biaya tidak terduga sebesar Rp 837.500,00. (2) Biaya Variabel untuk pembelian domba bakalan, konsentrat, tenaga kerja, listrik, air, komunikasi, dan overhead cost sebesar Rp 20.734.000,00. (3) Pendapatan dari penjualan domba dan faeces sebesar Rp 28.413.000,00.
Berdasarkan pendapatan dan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam usaha penggemukan domba lokal tersebut, diperoleh laba usaha sebagai berikut :
Laba Usaha = Rp 28.413.000,00 – (Rp 837.500,00 + 20.734.000,00)
= Rp 28.413.000,00 – Rp 21.571.500,00
= Rp 6.841.500,00/periode.
Laba usaha tersebut tentu saja masih dapat ditingkatkan bila peternak memilih bakalan yang memiliki ADG di atas 80 g, seperti Domba Garut, DEG, atau Domba-domba komposit dan memiliki keterampilah khusus dalam menjual domba hasil penggemukannya.
0 komentar:
Posting Komentar